Lebih satu dekade terakhir ini dakwah salafiyah berkembang pesat di tanah air. Esensi dari dakwah tersebut adalah sebuah seruan kepada segenap kaum muslimin untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah berdasarkan pemahaman generasi awal umat (salafus saleh). Ditinjau dari sisi historis, gerakan salafiyah bukan hal baru dalam dinamika dakwah di tanah air. Awal abad XIX, di tanah Minang berkembang gerakan pemurnian Islam oleh kaum Paderi sebagai pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tamimi rahimahullรขh di Semenanjung Arabia. Gerakan Paderi sebagai perlawanan militer memang berhasil dipatahkan oleh pemerintah colonial Belanda. Namun gerakan Paderi sebagai satu upaya pembaharuan Islam justru makin berkembang ke seantero negeri. Sepeninggal Tuanku Imam Bonjol, gerakan pembaharuan Islam dilanjutkan oleh satu kelompok yang disebut sebagai Sumatera Thawalib. Salah satu tokoh terkenal dari Sumatera Thawalib adalah Haji Abdul Karim yang merupakan ayahanda Prof. Dr. HAMKA.
Awal abad XX, bebarengan dengan lahirnya kebangkitan nasional, gerakan pembaharuan Islam turut pula bertransformasi ke dalam berbagai wadah organisasi modern seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Dengan memanfaatkan satu pola pengorganisasian modern, dakwah pemurnian Islam pun meluas hingga skala nasional.
Akan tetapi dalam perjalanannya sebagian dari organisasi-organisasi Islam tersebut justru melupakan khittahnya sebagai gerakan dakwah yang memprioritaskan penegakan tauhid. Muhammadiyah misalnya. Bila di masa KH. Ahmad Dahlan organisasi tersebut sangat identik dengan slogan ‘pemberantasan TBC (takhayul, Bid’ah, dan Khurafat)’ maka saat ini sebagian tokoh Muhammadiyah telah terhinggapi penyakit ‘sepilis’ (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme). Amien Rais, mantan ketua umum Muhammadiyah pernah mengatakan bahwa ‘baju Islam terlalu sempit baginya’. Sedangkan tokoh-tokoh Muhammadiyah lain semacam Dawam Raharjo dan Moeslim Abdurrachman malah terang-terangan mendukuang Islam liberal. Jika kita cermati, gejala demikian muncul sebagai akibat beralihnya kendali nakhoda organisasi dari golongan ulama ke golongan cendekiawan. Maka tak mengherankan, makna pembaharuan yang semula ditafsirkan sebagai upaya mengembalikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang murni, dibelokkan oleh para cendekiawan tersebut menjadi upaya ‘rekonstruksi ajaran Islam untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman’. Celakanya, ‘mazhab’ Islam liberal buah dari rekonstruksi para cendekiawan itu tak jua mampu menjawab tantangan zaman sebagaimana yang mereka cita-citakan. Umat Islam tetap saja tertinggal dalam segala bidang.
Sementara itu, sejumlah organisasi Islam lainnya yang semula berorientasi dakwah justru berubah haluan menjadi gerakan politik. Dakwah tauhid pun pelan-pelan ditinggalkan dan diganti dengan dakwah politik. Kajian tafsir Al-Quran semisal tafsir Ibnu Katsir diganti dengan kajian kitab-kita karangan Sayid Qutub dan Hasan al-Bana yang membahas tentang fiqhul waqi’. Alhasil, para aktivis dakwah lebih disibukkan dengan persoalan ‘konspirasi Yahudi’ ketimbang persoalan ‘kemusyrikan umat’. Bila di kalangan liberal, pembaharuan Islam dimaknai sebagai ‘rekonstruksi Islam sesuai tuntutan zaman’ maka di kalangan aktivis pergerakan (harakah), pembaharuan Islam dimaknai sebagai upaya mengembalikan kekuasaan ke tangan umat Islam.
Pada saat pergulatan pemikiran antargolongan dalam Islam mencapai puncaknya, dakwah salafiyah tampil sebagai pelurus makna pembaharuan. Dalam kaca mata salafi, kejayaan umat Islam hanya dapat diraih bilamana kaum muslimin kembali pada pemahaman generasi awal umat ini yang merupakan generasi terbaik. Hal itu sebagaimana bunyi sebuah ungkapan, ‘tidaklah umat ini menggapai kejayaan, melainkan dengan apa-apa yang membuat pendahulu mereka meraih kejayaan’. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah memulai dakwahnya dengan memurnikan tauhid, bukan dengan merebut kekuasaan dari tangan Abu Jahal dan Abu Lahab. Buah dari dakwah tauhid tersebut adalah tegaknya pemerintahan Islam yang wilayahnya terbentang dari Jazirah Arab hingga Andalusia dalam rentang kurang dari satu abad. Terkait persoalan kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang dewasa ini, kaum salafi berpandangan bahwa untuk mengobati ‘penyakit umat’ yang sudah sedemikian kronis tersebut hendaklah dimulai dari akidahnya. Bila dengan kekuatan tauhid bangsa Arab sukses bertransformasi dari bangsa yang terlupakan menjadi pusat peradaban dunia, maka hanya dengan resep yang sama pula umat Islam di era modern ini bakal bangkit dari ketertinggalan mereka.
Konsep dakwah salafi yang begitu simpel tersebut telah menyadarkan kesadaran keberagamaan kaum muda secara kolektif untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam waktu yang relatif singkat, dakwah salafiyah mendapat sambutan luas dari segenap lapisan masyarakat. Di kampus-kampus hingga instansi pemerintah dan swasta, kajian salafi marak digalakkan. Hasilnya, kita melihat banyak saudara-saudara kita dari kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta, pedagang dan kalangan lainnya yang dengan bangga menampakkan syiar keislamannya, seperti berjenggot dan bercelana ngatung bagi kaum pria atau berjilbab besar bagi kaum Hawa.
Berjenggot dan Bercelana Ngatung Belum Tentu Salafi
Pesatnya perkembangan dakwah salafiyah di Indonesia membuka mata para aktivis pergerakan Islam soal pentingnya sepirit ‘kembali kepada sunnah’. Dengan kata lain, dakwah salafiyah sudah dianggap sebagai satu tren yang terus mendapatkan tempat di hati masyarakat. Alhasil, banyak ormas-ormas Islam yang menyadari pentingnya ‘corak salafi’ dalam warna dakwah mereka untuk menarik simpati kalangan luas. Akibatnya, muncullah sejumlah ormas yang sebetulnya metode dan visi dakwah mereka bertentangan dengan manhaj salaf, akan tetapi dalam ranah akidah mereka mengklaim menerapkan pemahaman salafus saleh. Contohnya, saat ini terdapat organisasi pergerakan Islam yang menyerukan pemberantasan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan khurafat serta berpenampilan fisik sebagaimana ikhwan salafi (berjenggot, bercelana ngatung, dsb) tetapi di sisi lain mereka membolehkan demonstrasi, anarkistis, dan tindakan provokatif menebar kebencian terhadap pemerintah. Padahal, manhaj salaf sendiri mengajarkan bahwa ketaatan terhadap waliyul amri (pemerintah) adalah termasuk bagian dari akidah. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh para ulama salaf seperti Imam mazhab yang empat. Imam Ahmad misalnya, pernah diburu oleh pasukan khalifah Al-Makmun yang bepaham Muktazilah lantaran beliau sangat gigih membela akidah Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk (sebaliknya paham Muktazilah yang dianut Khalifah Al-Makmun mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk). Meski Imam Ahmad meyakini tentang kebenaran pendiriannya, serta memiliki banyak pengikut tapi beliau tidak menghasut rakyat untuk melawan penguasa yang sesat. Beliau tetap berpegang teguh pada akidah Ahli Sunnah tentang wajibnya taat kepada penguasa muslim, demi kemaslahatan yang jauh lebih besar. Nah, bila Imam Ahmad saja tidak memberontak dan tidak menghasut rakyat untuk melawan penguasa yang jelas-jelas menyimpang akidahnya, adakah layak mereka yang mengklaim sebagai aktivis dakwah menebarkan kebencian terhadap pemerintah yang sangat mungkin bertindak menyimpang semata-mata karena jahil atau bodoh? Adakah maslahat yang dipetik oleh umat Islam ketika sebagian ‘aktivis dakwah’ berteriak-teriak di jalanan, bertindak anarkis dengan melempari bar dengan batu dan merazia diskotik dengan gaya preman? Sama sekali tidak ada. Yang ada justru timbul kesalahpahaman dari orang-orang nonmuslim, seakan-akan Islam identik dengan anarkis, Islam lebih mengutamakan dakwah dengan otot ketimbang dengan kelembutan, dan sederet stigma negatif lain yang timbul lantaran salah persepsi gara-gara ulah segelintir oknum. Parahnya lagi, seringkali muncul kesan dari orang-orang di luar kelompok tersebut (baik muslim atau nonmuslim) bahwa mereka yang tergabung dalam organisasi anarkis berkedok Islam tersebut hanyalah gerombolan para penganggur yang frustasi, yang menumpahkan kefrustasiannya lewat anarkisme berkedok agama.
Mungkin, banyak dari saudara-saudara kita yang tergabung dalam ‘organisasi preman berkedok agama’ tersebut beranggapan bila apa yang mereka lakukan (berupa razia diskotik, tempat hiburan, dsb) merupakan aplikasi dari hadis Nabi SAW yang memerintahkan umat Islam untuk memberantas kemungkaran dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan lisan, dan bila tidak mampu juga hendaklah dengan mengingkarinya dalam hati. Benarkah demikian? Sekali-kali tidak. Maksud dari mengubah kemungkaran dengan tangan adalah memberantas segala bentuk kemaksiatan dan penyimpangan dengan power (kekuasaan). Yang punya kekuasaan hanyalah pemerintah, bukan ormas tertentu. Sebagai perbandingan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW tidak memarahi seorang Arab Badui yang kencing di dalam masjid karena kebodohannya. Rasulullah SAW hanya memerintahkan para sahabatnya untuk menyiram bekas kencing itu dengan air. Bila Nabi SAW lebih mengutamakan dakwah dengan kelembutan, adakah layak kita sebagai umatnya lebih mengutamakan dakwah dengan cara-cara kasar?
Kemudian terkait dengan demonstrasi yang oleh sebagian ‘aktivis dakwah’ sering dimaknai sebagai bagian dari ‘mengubah kemungkaran dengan lisan’, maka sungguh, apa yang mereka lakukan adalah justru salah satu bentuk kemungkaran. Dan tidak syak lagi, kelompok yang pertama kali melakukan demonstrasi dalam Islam adalah kaum khawarij (sekte sesat dalam Islam yang gemar mengkafirkan kelompok di luar mereka). Dalam sejarah, kelompok khawarij ini melakukan demonstrasi dengan mengepung rumah Khalifah Usman bin Affan yang berujung pada pembunuhan amirul mukiminin. Dengan demikian, para ‘aktivis dakwah’ yang hobi demonstrasi di jalanan, hakikatnya mereka itu melestarikan sunnah kaum khawarij yang sesat.
Oleh karena itulah, kita harus membedakan aktivis ormas yang penampilan fisiknya menunjukkan kesalehan (bergamis, berjenggot, bercelana ngatung, dsb) namun perilakunya barbar dengan mereka yang memang benar-benar salafi. Seorang yang benar-benar salafi, tak hanya meneladani Nabi SAW dan sahabatnya dalam hal berpakaian belaka. Terpenting, mereka juga meneladani Rasulullah SAW dalam hal akidahnya, akhlaknya, dan metode dakwahnya. Munculnya fenomena kelompok-kelompok tertentu yang secara penampilan fisik sama persis dengan ikhwan salafi namun akhlak dan metode dakwahnya bertentangan dengan manhaj salafus salih, justru membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang alergi dengan dakwah sunnah tersebut (terutama kaum liberal dan para ‘kyai’ yang hobi menyiarkan bid’ah bahkan kemusyrikan dan gemar dikultuskan, karena ‘sang kyai’ khawatir kedudukan serta posisinya yang ‘terhormat’ bakal jatuh manakala umat benar-benar menjalankan sunnah Nabi SAW secara benar) untuk melempar opini publik yang mendiskreditkan dakwah tauhid. Mereka bakal santer berkoar-koar dengan berteriak, “lihatlah! Mereka yang mengklaim diri sebagai pendakwah sunnah ternyata gemar berbuat anarkis. Sedangkan kami, yang menjunjung tinggi Islam multikultural selalu tampil adhem ayem!” Teriakan semacam itu muncul akibat adanya kelompok-keompok yang ‘membajak salafi’.
Mereka berpenampilan fisik seperti salafi, tapi kelakuannya dan metode dakwahnya bertentangan 1800 dengan manhaj salaf. Dengan demikian dapat disimpulkan:
· Bila ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi mendukung terorisme maka mereka bukan salafi kerena salafus saleh (Sahabat Nabi tabi’in, dan tabiut tabi’in) tidak pernah melakukan terror di tengah-tengah masyarakat.
· Bila ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi melakukan perusakan gereja dan menghalalkan darah orang-orang kafir di Indonesia maka mereka bukan salafi karena Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah menyakiti orang-orang kafir dzimmi (orang nonmuslim minoritas yang hidup dalam perlindungan pemerintah Islam). Rasulullah dan para sahabatnya juga melarang pasukan Islam merusak gereja, membunuh pendeta dan rahib, serta merusak lahan pertanian ketika menyerang tentara kafir di wilayah mereka. Nah, bila dalam kondisi perang dan di negara kafir saja Nabi SAW melarang menhancurkan gereja serta melarang membunuh rahib dan pendeta, apalagi di Indonesia yang negara muslim dan dalam kondisi damai pula.
· Bila ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi hobi berdemonstrasi, hobi merazia diskotik dan tempat hiburan dengan kekerasan maka mereka bukan salafi karena Rasulullah dan sahabatnya tidak pernah menyampaikan dakwah dengan jalan demonstrasi. Di samping itu manhaj salaf senantiasa memegang prinsip menghindari mudharat yang lebih besar. Terkait soal diskotik dan tempat hiburan, ketika para ‘aktivis dakwah’ tersebut melakukan razia dengan gaya preman maka kita lihat, setelah itu tempat hiburan hanya tutup sebentar dan buka lagi. Sebaliknya aksi razia mereka yang penuh nuansa kekerasan diliput media sehingga tersebar secara luas. Dengan begitu, aksi para ‘aktivis dakwah’ itu justru tidak bisa menghentikan kemungkaran. Sebaliknya, metode razia mereka yang mirip preman itulah yang malah tersebar luas lewat layar kaca dan ditonton banyak orang sehingga menimbulkan kesan negatif terhadap Islam. Jadi, dakwah gituan bukanlah metode salaf karena menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar dari maslahatnya.
Salafiyah Adalah Islam yang Diamalkan Rasulullah SAW dan Sahabatnya
Lantas siapa sih salafi itu? Salafi sendiri berasal dari kata ‘salaf’ yang artinya adalah pendahulu (maksudnya pendahulu umat Islam, yakni golongan Sahabat Nabi, tabi’in, dan tabiut tabi’in). Dengan demikian, salafi adalah orang-orang yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana pemahaman salafus saleh. Kenapa mengikuti salafus saleh? Karena mereka adalah generasi terbaik sebagaimana sabda Nabi SAW, “Generasi terbaik adalah mereka yang hidup di zamanku, kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi.” Jadi, gampangnya salafi adalah mereka yang memahami Islam sebagaimana pemahaman generasi awal umat ini. Aplikasinya, dalam hal akidah dan ibadah mereka senantiasa berpatokan pada apa yang diyakini dan diamalkan oleh salafus saleh.
Contoh, jika para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan perayaan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukannya. Bila para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan ruwatan maka kaum salafi sekarang pun tidak menjalankannya. Bila para sahabat Nabi dulu waktu melakukan pernikahan tidak melakukan perhitungan njlimet demi mencari hari baik, maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukan yang demikian. Bila para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan salawatan dengan berteriak-teriak keras di antara waktu azan dan iqamah, maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukannya. Tapi dalam masalah keduniaan (muamalah), kaum salafi boleh-boleh saja mengikuti perkembangan zaman sebagaimana sabda Nabi SAW bahwa kita (umat Nabi SAW) lebih memahami masalah-masalah keduniaan kita. Contohnya, bila para Sahabat Nabi dulu pergi haji dengan naik unta, maka tidak masalah bila kaum salafi sekarang pergi haji naik pesawat. Bila dulu para Sahabat Nabi berdakwah dengan lisan tanpa bantuan pengeras suara, maka tidak masalah bila kaum salafi sekarang berdakwah dengan pengeras suara atau laptop.
Lantas apa bedanya salafi dengan ahli sunah wal jama’ah? Sebetulnya, salafiyah adalah nama lain dari ahli sunah wal jamaah. Bila istilah ahli sunnah wal jamaah merujuk pada hadis Nabi SAW yang menyebutkan tentang golongan yang selamat di antara 73 golongan, maka istilah salafi merujuk pada para pendahulu umat ini yang senantiasa menjaga akidah dan ibadahnya sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Bila kita runut ke belakang, pemunculan istilah ahli sunnah (orangnya disebut sunni) sendiri terjadi setelah di dunia Islam muncul berbagai macam sekte menyimpang semisal Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Syi’ah, Murjiah, dan lain sebagainya. Nah, istilah Ahli sunnah dimunculkan untuk membedakan kaum muslimin yang tetap berpegang teguh dengan Al-Quran dan Al-Sunnah dengan kelompok-kelompok sempalan tersebut. Namun seiring waktu, ternyata mereka yang mengklaim sebagai Ahli sunnah wal jamaah tersebut banyak pula yang gemar menyebarkan beraneka bid’ah. Oleh karena itu, buat membedakan antara golongan Ahli sunnah yang tetap berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana pemahaman salafus saleh dengan mereka yang hanya mengklaim diri sebagai Ahli Sunnah tapi nyatanya justru ahli bid’ah, maka muncullah istilah salafi. Seorang salafi sejatinya adalah seorang Ahli sunnah wal jamaah yang istiqomah. Sebaliknya mereka yang mengaku Ahli Sunnah (bahkan mencantumkannya dalam AD/ART organisasi) tapi hobi berziarah ke makan wali untuk minta berkah serta gemar melakukan bid’ah, maka ketahuilah bahwa mereka sama sekali bukan Ahli Sunnah. Jadi, sejatinya salafi adalah Ahli Sunnah, atau golongan yang selamat. Jadi, orang yang menisbatkan diri sebagai salafi maka maksudnya ia telah mengikrarkan diri untuk mengamalkan ajaran Islam berdasarkan manhaj salaf. Sama halnya ketika kita dengan bangga mengatakan,”saya seorang Muslim”, maka hakikatnya adalah kita berikrar bahwa kita akan berusaha menjalankan ajaran Islam dengan sebaiknya-baiknya. Dengan demikian, siapapun yang berusaha untuk menjalankan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana pemahaman salafus saleh dalam segenap lini kehidupan, sesungguhnya ia adalah seorang salafi.
Lantas kenapa kok saat ini salafi seperti sebuah kelompok yang berbeda dengan kaum muslimin kebanyakan? Ya, karena kaum muslimin kebanyakan di era sekarang ini tak lagi mengamalkan ajaran Islam yang benar. Contohnya, ketika saat ini sebagian besar kaum muslimah di tanah air tidak berjilbab (kalaupun berjilbab biasanya hanya berupa jilbab gaul yang melilit di leher dan dipadukan dengan kaos dan celana jeans ketat), maka tatkala ada segelintir kaum Hawa yang berjilbab gedhe, hal itu dirasa aneh. Ketika mayoritas kaum muslimin menjalankan shalat fardhu di rumah dan tidak tepat waktu, manakala ada segelintir orang yang menjalankan shalat wajib dengan berjamaah dan on time di masjid, itu pun dianggap aneh. Ketika mayoritas pemuda dan pemudi Islam hobi pacaran, maka tatkala adalah pemuda dan pemudi yang tidak pacaran, tahu-tahu lamaran dan menikah, itu juga dianggap aneh. Dan lain sebagainya. Fenomena tersebut telah jauh-jauh diungkap dalam sabda Nabi SAW,”Islam itu pertama kali dianggap asing dan suatu saat pun akan kembali dianggap asing. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing itu.” Begitu saja kok!!!
By muhamad Karyono
Awal abad XX, bebarengan dengan lahirnya kebangkitan nasional, gerakan pembaharuan Islam turut pula bertransformasi ke dalam berbagai wadah organisasi modern seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Dengan memanfaatkan satu pola pengorganisasian modern, dakwah pemurnian Islam pun meluas hingga skala nasional.
Akan tetapi dalam perjalanannya sebagian dari organisasi-organisasi Islam tersebut justru melupakan khittahnya sebagai gerakan dakwah yang memprioritaskan penegakan tauhid. Muhammadiyah misalnya. Bila di masa KH. Ahmad Dahlan organisasi tersebut sangat identik dengan slogan ‘pemberantasan TBC (takhayul, Bid’ah, dan Khurafat)’ maka saat ini sebagian tokoh Muhammadiyah telah terhinggapi penyakit ‘sepilis’ (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme). Amien Rais, mantan ketua umum Muhammadiyah pernah mengatakan bahwa ‘baju Islam terlalu sempit baginya’. Sedangkan tokoh-tokoh Muhammadiyah lain semacam Dawam Raharjo dan Moeslim Abdurrachman malah terang-terangan mendukuang Islam liberal. Jika kita cermati, gejala demikian muncul sebagai akibat beralihnya kendali nakhoda organisasi dari golongan ulama ke golongan cendekiawan. Maka tak mengherankan, makna pembaharuan yang semula ditafsirkan sebagai upaya mengembalikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang murni, dibelokkan oleh para cendekiawan tersebut menjadi upaya ‘rekonstruksi ajaran Islam untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman’. Celakanya, ‘mazhab’ Islam liberal buah dari rekonstruksi para cendekiawan itu tak jua mampu menjawab tantangan zaman sebagaimana yang mereka cita-citakan. Umat Islam tetap saja tertinggal dalam segala bidang.
Sementara itu, sejumlah organisasi Islam lainnya yang semula berorientasi dakwah justru berubah haluan menjadi gerakan politik. Dakwah tauhid pun pelan-pelan ditinggalkan dan diganti dengan dakwah politik. Kajian tafsir Al-Quran semisal tafsir Ibnu Katsir diganti dengan kajian kitab-kita karangan Sayid Qutub dan Hasan al-Bana yang membahas tentang fiqhul waqi’. Alhasil, para aktivis dakwah lebih disibukkan dengan persoalan ‘konspirasi Yahudi’ ketimbang persoalan ‘kemusyrikan umat’. Bila di kalangan liberal, pembaharuan Islam dimaknai sebagai ‘rekonstruksi Islam sesuai tuntutan zaman’ maka di kalangan aktivis pergerakan (harakah), pembaharuan Islam dimaknai sebagai upaya mengembalikan kekuasaan ke tangan umat Islam.
Pada saat pergulatan pemikiran antargolongan dalam Islam mencapai puncaknya, dakwah salafiyah tampil sebagai pelurus makna pembaharuan. Dalam kaca mata salafi, kejayaan umat Islam hanya dapat diraih bilamana kaum muslimin kembali pada pemahaman generasi awal umat ini yang merupakan generasi terbaik. Hal itu sebagaimana bunyi sebuah ungkapan, ‘tidaklah umat ini menggapai kejayaan, melainkan dengan apa-apa yang membuat pendahulu mereka meraih kejayaan’. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah memulai dakwahnya dengan memurnikan tauhid, bukan dengan merebut kekuasaan dari tangan Abu Jahal dan Abu Lahab. Buah dari dakwah tauhid tersebut adalah tegaknya pemerintahan Islam yang wilayahnya terbentang dari Jazirah Arab hingga Andalusia dalam rentang kurang dari satu abad. Terkait persoalan kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang dewasa ini, kaum salafi berpandangan bahwa untuk mengobati ‘penyakit umat’ yang sudah sedemikian kronis tersebut hendaklah dimulai dari akidahnya. Bila dengan kekuatan tauhid bangsa Arab sukses bertransformasi dari bangsa yang terlupakan menjadi pusat peradaban dunia, maka hanya dengan resep yang sama pula umat Islam di era modern ini bakal bangkit dari ketertinggalan mereka.
Konsep dakwah salafi yang begitu simpel tersebut telah menyadarkan kesadaran keberagamaan kaum muda secara kolektif untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam waktu yang relatif singkat, dakwah salafiyah mendapat sambutan luas dari segenap lapisan masyarakat. Di kampus-kampus hingga instansi pemerintah dan swasta, kajian salafi marak digalakkan. Hasilnya, kita melihat banyak saudara-saudara kita dari kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta, pedagang dan kalangan lainnya yang dengan bangga menampakkan syiar keislamannya, seperti berjenggot dan bercelana ngatung bagi kaum pria atau berjilbab besar bagi kaum Hawa.
Berjenggot dan Bercelana Ngatung Belum Tentu Salafi
Pesatnya perkembangan dakwah salafiyah di Indonesia membuka mata para aktivis pergerakan Islam soal pentingnya sepirit ‘kembali kepada sunnah’. Dengan kata lain, dakwah salafiyah sudah dianggap sebagai satu tren yang terus mendapatkan tempat di hati masyarakat. Alhasil, banyak ormas-ormas Islam yang menyadari pentingnya ‘corak salafi’ dalam warna dakwah mereka untuk menarik simpati kalangan luas. Akibatnya, muncullah sejumlah ormas yang sebetulnya metode dan visi dakwah mereka bertentangan dengan manhaj salaf, akan tetapi dalam ranah akidah mereka mengklaim menerapkan pemahaman salafus saleh. Contohnya, saat ini terdapat organisasi pergerakan Islam yang menyerukan pemberantasan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan khurafat serta berpenampilan fisik sebagaimana ikhwan salafi (berjenggot, bercelana ngatung, dsb) tetapi di sisi lain mereka membolehkan demonstrasi, anarkistis, dan tindakan provokatif menebar kebencian terhadap pemerintah. Padahal, manhaj salaf sendiri mengajarkan bahwa ketaatan terhadap waliyul amri (pemerintah) adalah termasuk bagian dari akidah. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh para ulama salaf seperti Imam mazhab yang empat. Imam Ahmad misalnya, pernah diburu oleh pasukan khalifah Al-Makmun yang bepaham Muktazilah lantaran beliau sangat gigih membela akidah Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk (sebaliknya paham Muktazilah yang dianut Khalifah Al-Makmun mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk). Meski Imam Ahmad meyakini tentang kebenaran pendiriannya, serta memiliki banyak pengikut tapi beliau tidak menghasut rakyat untuk melawan penguasa yang sesat. Beliau tetap berpegang teguh pada akidah Ahli Sunnah tentang wajibnya taat kepada penguasa muslim, demi kemaslahatan yang jauh lebih besar. Nah, bila Imam Ahmad saja tidak memberontak dan tidak menghasut rakyat untuk melawan penguasa yang jelas-jelas menyimpang akidahnya, adakah layak mereka yang mengklaim sebagai aktivis dakwah menebarkan kebencian terhadap pemerintah yang sangat mungkin bertindak menyimpang semata-mata karena jahil atau bodoh? Adakah maslahat yang dipetik oleh umat Islam ketika sebagian ‘aktivis dakwah’ berteriak-teriak di jalanan, bertindak anarkis dengan melempari bar dengan batu dan merazia diskotik dengan gaya preman? Sama sekali tidak ada. Yang ada justru timbul kesalahpahaman dari orang-orang nonmuslim, seakan-akan Islam identik dengan anarkis, Islam lebih mengutamakan dakwah dengan otot ketimbang dengan kelembutan, dan sederet stigma negatif lain yang timbul lantaran salah persepsi gara-gara ulah segelintir oknum. Parahnya lagi, seringkali muncul kesan dari orang-orang di luar kelompok tersebut (baik muslim atau nonmuslim) bahwa mereka yang tergabung dalam organisasi anarkis berkedok Islam tersebut hanyalah gerombolan para penganggur yang frustasi, yang menumpahkan kefrustasiannya lewat anarkisme berkedok agama.
Mungkin, banyak dari saudara-saudara kita yang tergabung dalam ‘organisasi preman berkedok agama’ tersebut beranggapan bila apa yang mereka lakukan (berupa razia diskotik, tempat hiburan, dsb) merupakan aplikasi dari hadis Nabi SAW yang memerintahkan umat Islam untuk memberantas kemungkaran dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan lisan, dan bila tidak mampu juga hendaklah dengan mengingkarinya dalam hati. Benarkah demikian? Sekali-kali tidak. Maksud dari mengubah kemungkaran dengan tangan adalah memberantas segala bentuk kemaksiatan dan penyimpangan dengan power (kekuasaan). Yang punya kekuasaan hanyalah pemerintah, bukan ormas tertentu. Sebagai perbandingan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW tidak memarahi seorang Arab Badui yang kencing di dalam masjid karena kebodohannya. Rasulullah SAW hanya memerintahkan para sahabatnya untuk menyiram bekas kencing itu dengan air. Bila Nabi SAW lebih mengutamakan dakwah dengan kelembutan, adakah layak kita sebagai umatnya lebih mengutamakan dakwah dengan cara-cara kasar?
Kemudian terkait dengan demonstrasi yang oleh sebagian ‘aktivis dakwah’ sering dimaknai sebagai bagian dari ‘mengubah kemungkaran dengan lisan’, maka sungguh, apa yang mereka lakukan adalah justru salah satu bentuk kemungkaran. Dan tidak syak lagi, kelompok yang pertama kali melakukan demonstrasi dalam Islam adalah kaum khawarij (sekte sesat dalam Islam yang gemar mengkafirkan kelompok di luar mereka). Dalam sejarah, kelompok khawarij ini melakukan demonstrasi dengan mengepung rumah Khalifah Usman bin Affan yang berujung pada pembunuhan amirul mukiminin. Dengan demikian, para ‘aktivis dakwah’ yang hobi demonstrasi di jalanan, hakikatnya mereka itu melestarikan sunnah kaum khawarij yang sesat.
Oleh karena itulah, kita harus membedakan aktivis ormas yang penampilan fisiknya menunjukkan kesalehan (bergamis, berjenggot, bercelana ngatung, dsb) namun perilakunya barbar dengan mereka yang memang benar-benar salafi. Seorang yang benar-benar salafi, tak hanya meneladani Nabi SAW dan sahabatnya dalam hal berpakaian belaka. Terpenting, mereka juga meneladani Rasulullah SAW dalam hal akidahnya, akhlaknya, dan metode dakwahnya. Munculnya fenomena kelompok-kelompok tertentu yang secara penampilan fisik sama persis dengan ikhwan salafi namun akhlak dan metode dakwahnya bertentangan dengan manhaj salafus salih, justru membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang alergi dengan dakwah sunnah tersebut (terutama kaum liberal dan para ‘kyai’ yang hobi menyiarkan bid’ah bahkan kemusyrikan dan gemar dikultuskan, karena ‘sang kyai’ khawatir kedudukan serta posisinya yang ‘terhormat’ bakal jatuh manakala umat benar-benar menjalankan sunnah Nabi SAW secara benar) untuk melempar opini publik yang mendiskreditkan dakwah tauhid. Mereka bakal santer berkoar-koar dengan berteriak, “lihatlah! Mereka yang mengklaim diri sebagai pendakwah sunnah ternyata gemar berbuat anarkis. Sedangkan kami, yang menjunjung tinggi Islam multikultural selalu tampil adhem ayem!” Teriakan semacam itu muncul akibat adanya kelompok-keompok yang ‘membajak salafi’.
Mereka berpenampilan fisik seperti salafi, tapi kelakuannya dan metode dakwahnya bertentangan 1800 dengan manhaj salaf. Dengan demikian dapat disimpulkan:
· Bila ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi mendukung terorisme maka mereka bukan salafi kerena salafus saleh (Sahabat Nabi tabi’in, dan tabiut tabi’in) tidak pernah melakukan terror di tengah-tengah masyarakat.
· Bila ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi melakukan perusakan gereja dan menghalalkan darah orang-orang kafir di Indonesia maka mereka bukan salafi karena Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah menyakiti orang-orang kafir dzimmi (orang nonmuslim minoritas yang hidup dalam perlindungan pemerintah Islam). Rasulullah dan para sahabatnya juga melarang pasukan Islam merusak gereja, membunuh pendeta dan rahib, serta merusak lahan pertanian ketika menyerang tentara kafir di wilayah mereka. Nah, bila dalam kondisi perang dan di negara kafir saja Nabi SAW melarang menhancurkan gereja serta melarang membunuh rahib dan pendeta, apalagi di Indonesia yang negara muslim dan dalam kondisi damai pula.
· Bila ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi hobi berdemonstrasi, hobi merazia diskotik dan tempat hiburan dengan kekerasan maka mereka bukan salafi karena Rasulullah dan sahabatnya tidak pernah menyampaikan dakwah dengan jalan demonstrasi. Di samping itu manhaj salaf senantiasa memegang prinsip menghindari mudharat yang lebih besar. Terkait soal diskotik dan tempat hiburan, ketika para ‘aktivis dakwah’ tersebut melakukan razia dengan gaya preman maka kita lihat, setelah itu tempat hiburan hanya tutup sebentar dan buka lagi. Sebaliknya aksi razia mereka yang penuh nuansa kekerasan diliput media sehingga tersebar secara luas. Dengan begitu, aksi para ‘aktivis dakwah’ itu justru tidak bisa menghentikan kemungkaran. Sebaliknya, metode razia mereka yang mirip preman itulah yang malah tersebar luas lewat layar kaca dan ditonton banyak orang sehingga menimbulkan kesan negatif terhadap Islam. Jadi, dakwah gituan bukanlah metode salaf karena menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar dari maslahatnya.
Salafiyah Adalah Islam yang Diamalkan Rasulullah SAW dan Sahabatnya
Lantas siapa sih salafi itu? Salafi sendiri berasal dari kata ‘salaf’ yang artinya adalah pendahulu (maksudnya pendahulu umat Islam, yakni golongan Sahabat Nabi, tabi’in, dan tabiut tabi’in). Dengan demikian, salafi adalah orang-orang yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana pemahaman salafus saleh. Kenapa mengikuti salafus saleh? Karena mereka adalah generasi terbaik sebagaimana sabda Nabi SAW, “Generasi terbaik adalah mereka yang hidup di zamanku, kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi.” Jadi, gampangnya salafi adalah mereka yang memahami Islam sebagaimana pemahaman generasi awal umat ini. Aplikasinya, dalam hal akidah dan ibadah mereka senantiasa berpatokan pada apa yang diyakini dan diamalkan oleh salafus saleh.
Contoh, jika para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan perayaan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukannya. Bila para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan ruwatan maka kaum salafi sekarang pun tidak menjalankannya. Bila para sahabat Nabi dulu waktu melakukan pernikahan tidak melakukan perhitungan njlimet demi mencari hari baik, maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukan yang demikian. Bila para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan salawatan dengan berteriak-teriak keras di antara waktu azan dan iqamah, maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukannya. Tapi dalam masalah keduniaan (muamalah), kaum salafi boleh-boleh saja mengikuti perkembangan zaman sebagaimana sabda Nabi SAW bahwa kita (umat Nabi SAW) lebih memahami masalah-masalah keduniaan kita. Contohnya, bila para Sahabat Nabi dulu pergi haji dengan naik unta, maka tidak masalah bila kaum salafi sekarang pergi haji naik pesawat. Bila dulu para Sahabat Nabi berdakwah dengan lisan tanpa bantuan pengeras suara, maka tidak masalah bila kaum salafi sekarang berdakwah dengan pengeras suara atau laptop.
Lantas apa bedanya salafi dengan ahli sunah wal jama’ah? Sebetulnya, salafiyah adalah nama lain dari ahli sunah wal jamaah. Bila istilah ahli sunnah wal jamaah merujuk pada hadis Nabi SAW yang menyebutkan tentang golongan yang selamat di antara 73 golongan, maka istilah salafi merujuk pada para pendahulu umat ini yang senantiasa menjaga akidah dan ibadahnya sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Bila kita runut ke belakang, pemunculan istilah ahli sunnah (orangnya disebut sunni) sendiri terjadi setelah di dunia Islam muncul berbagai macam sekte menyimpang semisal Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Syi’ah, Murjiah, dan lain sebagainya. Nah, istilah Ahli sunnah dimunculkan untuk membedakan kaum muslimin yang tetap berpegang teguh dengan Al-Quran dan Al-Sunnah dengan kelompok-kelompok sempalan tersebut. Namun seiring waktu, ternyata mereka yang mengklaim sebagai Ahli sunnah wal jamaah tersebut banyak pula yang gemar menyebarkan beraneka bid’ah. Oleh karena itu, buat membedakan antara golongan Ahli sunnah yang tetap berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana pemahaman salafus saleh dengan mereka yang hanya mengklaim diri sebagai Ahli Sunnah tapi nyatanya justru ahli bid’ah, maka muncullah istilah salafi. Seorang salafi sejatinya adalah seorang Ahli sunnah wal jamaah yang istiqomah. Sebaliknya mereka yang mengaku Ahli Sunnah (bahkan mencantumkannya dalam AD/ART organisasi) tapi hobi berziarah ke makan wali untuk minta berkah serta gemar melakukan bid’ah, maka ketahuilah bahwa mereka sama sekali bukan Ahli Sunnah. Jadi, sejatinya salafi adalah Ahli Sunnah, atau golongan yang selamat. Jadi, orang yang menisbatkan diri sebagai salafi maka maksudnya ia telah mengikrarkan diri untuk mengamalkan ajaran Islam berdasarkan manhaj salaf. Sama halnya ketika kita dengan bangga mengatakan,”saya seorang Muslim”, maka hakikatnya adalah kita berikrar bahwa kita akan berusaha menjalankan ajaran Islam dengan sebaiknya-baiknya. Dengan demikian, siapapun yang berusaha untuk menjalankan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana pemahaman salafus saleh dalam segenap lini kehidupan, sesungguhnya ia adalah seorang salafi.
Lantas kenapa kok saat ini salafi seperti sebuah kelompok yang berbeda dengan kaum muslimin kebanyakan? Ya, karena kaum muslimin kebanyakan di era sekarang ini tak lagi mengamalkan ajaran Islam yang benar. Contohnya, ketika saat ini sebagian besar kaum muslimah di tanah air tidak berjilbab (kalaupun berjilbab biasanya hanya berupa jilbab gaul yang melilit di leher dan dipadukan dengan kaos dan celana jeans ketat), maka tatkala ada segelintir kaum Hawa yang berjilbab gedhe, hal itu dirasa aneh. Ketika mayoritas kaum muslimin menjalankan shalat fardhu di rumah dan tidak tepat waktu, manakala ada segelintir orang yang menjalankan shalat wajib dengan berjamaah dan on time di masjid, itu pun dianggap aneh. Ketika mayoritas pemuda dan pemudi Islam hobi pacaran, maka tatkala adalah pemuda dan pemudi yang tidak pacaran, tahu-tahu lamaran dan menikah, itu juga dianggap aneh. Dan lain sebagainya. Fenomena tersebut telah jauh-jauh diungkap dalam sabda Nabi SAW,”Islam itu pertama kali dianggap asing dan suatu saat pun akan kembali dianggap asing. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing itu.” Begitu saja kok!!!
By muhamad Karyono
Komentar
Posting Komentar