Mahaisiwa indekos era 80-an sampai 90-an diterima dengan tangan terbuka kalau ngutang di warung makan di sekitar kost. Soalnya, mereka rata-rata ramah dan sopan. Tidak seperti sekarang.
Demikian kata Yanto, pemilik Kos-Kosan di Samirono CT IV, Caturtunggal, Depok, Sleman. Pada Beritajogja.id, Yanto menceritakan bagaimana mahasiswa yang ngekos di rumahnya dan kost lainnya di Samirono sangat sopan dan gampang bergaul.
“Ibu saya Almarhum sudah buka kost dari tahun 1980. Dulu kostnya campur cowok-cewek. Enggak ada masalah karena mereka masih tahu etika. Tetangga-tetangga juga nyaman sama mahasiswa waktu itu, sering ngobrol, bantuin orang kampung kerja bakti, pengajian, sampai ikut bantuin bangun rumah segala,” kenang pria yang dulunya terkenal sebagai gali Samirono ini.
Pakde Djoto, penjual nasi goreng Jawa tepat di sebelah kost Yanto menambahkan kisahnya. Era 80 sampai 90an dulu, Ibunya yang berjualan nasi rames sering dihutangi sama mahasiswa sekitar. “Ibu senang malahan, wong mahasiswa UNY, UGM, yang ngekos sekitar sini sering ngobrol. Kalau mau ngutang, disediakan kalander terus dibuleti pakai spidol merah,” kenangnya.
Ia juga mengisahkan banyak mahasiswa yang tidak keberatan ronda bersama warga. “Sampai ngertu (main kartu) bareng terus pernah ngombe bareng rame-rame,” cerita Pakde.
Dibandingkan dengan sekarang, kondisi seperti tahun 80-90an jarang terjadi. Yanto mengatakan perubahan zaman membuat mahasiswa Jogja sebagian besar juga berubah. “Keluarga saya yang punya kostan di Karangmalang juga merasakan hal yang sama. Sekarang jarang ada yang mau gaul sama warga sampai pagi. Kalau beli makan, penjualnya enggak diajak ngobrol, malah asyik Hp-an,” tegasnya.
http://beritajogja.id
Demikian kata Yanto, pemilik Kos-Kosan di Samirono CT IV, Caturtunggal, Depok, Sleman. Pada Beritajogja.id, Yanto menceritakan bagaimana mahasiswa yang ngekos di rumahnya dan kost lainnya di Samirono sangat sopan dan gampang bergaul.
“Ibu saya Almarhum sudah buka kost dari tahun 1980. Dulu kostnya campur cowok-cewek. Enggak ada masalah karena mereka masih tahu etika. Tetangga-tetangga juga nyaman sama mahasiswa waktu itu, sering ngobrol, bantuin orang kampung kerja bakti, pengajian, sampai ikut bantuin bangun rumah segala,” kenang pria yang dulunya terkenal sebagai gali Samirono ini.
Pakde Djoto, penjual nasi goreng Jawa tepat di sebelah kost Yanto menambahkan kisahnya. Era 80 sampai 90an dulu, Ibunya yang berjualan nasi rames sering dihutangi sama mahasiswa sekitar. “Ibu senang malahan, wong mahasiswa UNY, UGM, yang ngekos sekitar sini sering ngobrol. Kalau mau ngutang, disediakan kalander terus dibuleti pakai spidol merah,” kenangnya.
Ia juga mengisahkan banyak mahasiswa yang tidak keberatan ronda bersama warga. “Sampai ngertu (main kartu) bareng terus pernah ngombe bareng rame-rame,” cerita Pakde.
Dibandingkan dengan sekarang, kondisi seperti tahun 80-90an jarang terjadi. Yanto mengatakan perubahan zaman membuat mahasiswa Jogja sebagian besar juga berubah. “Keluarga saya yang punya kostan di Karangmalang juga merasakan hal yang sama. Sekarang jarang ada yang mau gaul sama warga sampai pagi. Kalau beli makan, penjualnya enggak diajak ngobrol, malah asyik Hp-an,” tegasnya.
http://beritajogja.id
Komentar
Posting Komentar